http://www.ugm.ac.id Munculnya politisi busuk akibat buruknya kualitas penyelenggaraan Pemilu 2009 tentu menjadi cermin bagi banyak pemangku kepentingan. Oleh karena itu perlu menyikapi permasalahan tersebut dengan melakukan peninjauan kembali beberapa pasal krusial Rencana Undang-Undang (RUU) Pemilu melalui pendekatan teknokratis.
Menurut Dr. rer.pol. Mada Sukmajati beberapa hal yang perlu diperhatikan guna perbaikan RUU Pemilu adalah terkait prinsip-prinsip umum penyelenggaraan dan penentuan parliamentary threshold. Selain itu perlu membahas kembali permasalahan terkait sistim pemilu, alokasi kursi dan penghitungan suara.
"Semua pilihan tentu akan mengandung konsekuensi. Demikian pula dengan pilihan sistim pemilu, apakah dengan sistim proporsional atau penyederhanaan partai tentu semua mengandung konsekuensi," katanya di ruang seminar Fisipol UGM, Senin (12/3).
Berbicara pada seminar "Reformasi Undang-Undang Pemilu: Peluang Tantangan Elektoral" yang digelar Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, ia berharap yang terpenting mendorong masyarakat agar terus terlibat dalam pembuatan Undang-Undang Pemilu. Dengan begitu produk UU Pemilu nantinya akan lebih representatif dibanding UU Pemilu sebelumnya.
Diharapkan perbaikan UU Pemilu akan menghasilkan politisi-politisi sehat. Selain itu mampu mendorong partai-partai politik menjalankan fungsi-fungsi ideal, dan yang tak kalah penting UU Pemilu mampu meningkatkan ikatan politik. "Sehingga apa yang dikatakan rakyat adalah apa yang dilakukan pemerintah. Jangan sampai teriak-teriak setelah semua terjadi. Untuk itu beberapa prinsip-prinsip penting harus dijelaskan terlebih dulu," tambahnya.
Konsultan Kemitraan-Partnership Urusan Pemilu, Didik Supriyanto mengungkapkan beberapa kelemahan Pemilu 2009 bukan semata disebabkan oleh rendahnya kemampuan profesional penyelenggara pemilu, tapi juga oleh rendahnya kulaitas UU No. 10/2008 yang menjadi dasar penyelenggaraan pemilu legislatif. Sebab dalam UU No.10/2008 terdapat 20 item kekosongan hukum, bahwa sesuatu yang seharusnya diatur namun tidak diatur. Terdapat pula 12 item ketidakkonsitenan hukum, dimana ketentuan satu berbeda atau bahkan bertentangan dengan ketentuan lain, dan 13 item multitafsir dengan ketentuan yang tidak jelas. "Rendahnya kualitas UU tersebut menyebabkan 14 gugatan peninjauan kembali, judicial review ke Mahkamah Konstitusi dan 7 diantaranya dikabulkan," papar Didik, Ketua Perkumpulan Untuk Pemilu dan demokrasi (Perludem).
Dari 7 putusan MK yang mengabulkan gugatan tersebut, terdapat 6 putusan tentang manajemen pemilu (pelaksanaan kegiatan pemilu) dan penegakkan hukum pemilu. Selain itu terdapat 1 putusan Perselisihan Hasil Pemilu yang terkait dengan pengaturan sistim pemilu.
Menurut Didik penyebab utama buruknya formulasi pengaturan UU No.10/2008 adalah terjadinya tumpang tindih antara pengaturan sistim pemilu, manajemen pemilu (kegiatan pemilu). "Juga terdapat tumpah tindih antara kegiatan tahapan pemilu dan kegiatan nontahapan pemilu," ucapnya. (Humas UGM/ Agung)
0 comments:
Post a Comment